Tak pernah surutnya niat jahat untuk menipu
membuat hukum tentang penipuan harus dipahami lebih lanjut. Masalahnya,
sebagian besar masyarakat awam sering keliru membedakan kejahatan penipuan ke
dalam hukum perdata atau pidana. Kekeliruan ini pun menimbulkan pertanyaan: Bisakah hukum perdata menjadi pidana?
Dilihat dari pengertiannya, hukum
pidana memiliki maksud untuk melindungi kepentingan umum yang berdampak
langsung terhadap masyarakat luas. Dampak yang dikategorikan sebagai tindak
pidana, antara lain ancaman terhadap keamanan dan ketertiban umum,
ketenteraman, serta kesejahteraan.
Ketentuan yang termuat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) tersebut membuat hukum pidana bersifat ultimum remedium.
Artinya hukum ini menjadi rujukan atau upaya terakhir untuk penyelesaian suatu
perkara. Sanksinya pun bersifat memaksa, sehingga apabila peraturannya
dilanggar, hukuman pidana akan divonis kepada si pelaku.
Sementara, hukum perdata lebih
bersifat privat. Hukum ini berfokus pada pengaturan perjanjian/kesepakatan yang
dibuat perseorangan. Sesuai ketentuan yang termuat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Per), hukum perdata hanya akan berdampak langsung terhadap
para pihak yang terlibat/terikat dalam suatu perjanjian/kesepakatan.
Salah satu kasus perdata yang sering
disalahartikan yakni perjanjian jual-beli atau utang-piutang antara individu. Apabila
menyimak kembali definisi dan dampaknya, sangat jelas bahwa kasus hukum dalam
suatu perjanjian tergolong dalam wilayah hukum perdata.
Namun yang banyak terjadi, kasus
pengingkaran perjanjian tersebut malah menjadi perkara pidana (penipuan). Dalam
hal pihak yang berutang kemudian melanggar janji pengembalian uang, maka hal
tersebut merupakan peristiwa ingkar janji (wanprestasi).
Ketentuan tentang tindak
pidana sendiri telah diatur pada Bab XXV Pasal 378 KUHP tentang Perbuatan
Curang (bedrog):
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau
martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya
memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.”
Sebagian besar kasus hukum perdata,
yang kemudian menjadi perkara pidana, memang dimulai karena pengingkaran
perjanjian maupun perselisihan bisnis. Setidaknya ada 2 hal yang mendasari
suatu perkara perdata menjadi pidana, yakni:
1.
Tidak Ada
Niat Baik
Ketika salah satu pihak yang terlibat
perjanjian/kesepakatan tidak memiliki niat baik untuk mematuhi berjalannya
kesepakatan, maka pasal penipuan dalam berbisnis sudah bisa dituduhkan. Misalnya
penggunaan nama palsu atau serangkaian kebohongan, sebelum dibuatnya
perjanjian.
2.
Proses
dan Kepatuhan dalam Menjalankan Perjanjian
Situasi ini biasanya bisa langsung
terasa ketika sejak sebelum perjanjian dibuat. Sebagai upaya pembuktian, Anda
mungkin perlu memastikan kembali bahwa pihak yang bersepakat ternyata
benar-benar melakukan tipu daya dan serangkaian kebohongan, yang menimbulkan
kerugian.
Berbagai yurisprudensi tentang kasus penipuan dan penggelapan yang
berkedok wanprestasi atas suatu perjanjian, juga sudah banyak. Situasi ini
jelas berbeda dengan keadaan pihak pengutang karena adanya kegagalan dalam
bisnisnya, yang membuatnya tidak mampu mengembalikan utang. Namun Anda juga
harus memastikan bahwa pihak pengutang memiliki niat baik untuk mengembalikan
utangnya.
Selanjutnya Anda bisa membuat kesepakatan penyelesaian pembayaran
utang, sehingga tidak berpotensi menimbulkan tuduhan pidana berdasarkan
pelanggaran pasal tertentu.
Berdasarkan contoh kasus yang paling
sering disalahartikan tersebut, perubahan hukum perdata menjadi pidana bukanlah
hal yang tidak mungkin terjadi.
Hal yang terpenting, Anda harus memahami
penerapan substansial, sekaligus menghindari kekeliruan atas pertanyaan: Bisakah hukum perdata menjadi pidana?
Baca Juga : Dasar- dasar keabsahan Digital signature di Indonesia
Baca Juga : Dasar- dasar keabsahan Digital signature di Indonesia
Referensi : BP Lawyers
0 komentar:
Posting Komentar