Kamis, 18 Januari 2018

Bisakah Hukum Perdata Menjadi Pidana | Hukum Indonesia



Tak pernah surutnya niat jahat untuk menipu membuat hukum tentang penipuan harus dipahami lebih lanjut. Masalahnya, sebagian besar masyarakat awam sering keliru membedakan kejahatan penipuan ke dalam hukum perdata atau pidana. Kekeliruan ini pun menimbulkan pertanyaan: Bisakah hukum perdata menjadi pidana?

Dilihat dari pengertiannya, hukum pidana memiliki maksud untuk melindungi kepentingan umum yang berdampak langsung terhadap masyarakat luas. Dampak yang dikategorikan sebagai tindak pidana, antara lain ancaman terhadap keamanan dan ketertiban umum, ketenteraman, serta kesejahteraan.

Ketentuan yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut membuat hukum pidana bersifat ultimum remedium. Artinya hukum ini menjadi rujukan atau upaya terakhir untuk penyelesaian suatu perkara. Sanksinya pun bersifat memaksa, sehingga apabila peraturannya dilanggar, hukuman pidana akan divonis kepada si pelaku.

Sementara, hukum perdata lebih bersifat privat. Hukum ini berfokus pada pengaturan perjanjian/kesepakatan yang dibuat perseorangan. Sesuai ketentuan yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Per), hukum perdata hanya akan berdampak langsung terhadap para pihak yang terlibat/terikat dalam suatu perjanjian/kesepakatan.

Salah satu kasus perdata yang sering disalahartikan yakni perjanjian jual-beli atau utang-piutang antara individu. Apabila menyimak kembali definisi dan dampaknya, sangat jelas bahwa kasus hukum dalam suatu perjanjian tergolong dalam wilayah hukum perdata.

Namun yang banyak terjadi, kasus pengingkaran perjanjian tersebut malah menjadi perkara pidana (penipuan). Dalam hal pihak yang berutang kemudian melanggar janji pengembalian uang, maka hal tersebut merupakan peristiwa ingkar janji (wanprestasi).

Ketentuan tentang tindak pidana sendiri telah diatur pada Bab XXV Pasal 378 KUHP tentang Perbuatan Curang (bedrog):

“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Sebagian besar kasus hukum perdata, yang kemudian menjadi perkara pidana, memang dimulai karena pengingkaran perjanjian maupun perselisihan bisnis. Setidaknya ada 2 hal yang mendasari suatu perkara perdata menjadi pidana, yakni:

1.      Tidak Ada Niat Baik
Ketika salah satu pihak yang terlibat perjanjian/kesepakatan tidak memiliki niat baik untuk mematuhi berjalannya kesepakatan, maka pasal penipuan dalam berbisnis sudah bisa dituduhkan. Misalnya penggunaan nama palsu atau serangkaian kebohongan, sebelum dibuatnya perjanjian.

2.      Proses dan Kepatuhan dalam Menjalankan Perjanjian
Situasi ini biasanya bisa langsung terasa ketika sejak sebelum perjanjian dibuat. Sebagai upaya pembuktian, Anda mungkin perlu memastikan kembali bahwa pihak yang bersepakat ternyata benar-benar melakukan tipu daya dan serangkaian kebohongan, yang menimbulkan kerugian. 
Berbagai yurisprudensi tentang kasus penipuan dan penggelapan yang berkedok wanprestasi atas suatu perjanjian, juga sudah banyak. Situasi ini jelas berbeda dengan keadaan pihak pengutang karena adanya kegagalan dalam bisnisnya, yang membuatnya tidak mampu mengembalikan utang. Namun Anda juga harus memastikan bahwa pihak pengutang memiliki niat baik untuk mengembalikan utangnya. 
Selanjutnya Anda bisa membuat kesepakatan penyelesaian pembayaran utang, sehingga tidak berpotensi menimbulkan tuduhan pidana berdasarkan pelanggaran pasal tertentu.

Berdasarkan contoh kasus yang paling sering disalahartikan tersebut, perubahan hukum perdata menjadi pidana bukanlah hal yang tidak mungkin terjadi. 

Hal yang terpenting, Anda harus memahami penerapan substansial, sekaligus menghindari kekeliruan atas pertanyaan: Bisakah hukum perdata menjadi pidana?

Baca Juga : Dasar- dasar keabsahan Digital signature di Indonesia

Referensi : BP Lawyers

0 komentar:

Posting Komentar